INTERFERENSI MORFOLOGIS BAHASA MELAYU BETAWI
TERHADAP BAHASA INDONESIA
TULIS SISWA SMP
DI
JAKARTA SELATAN
oleh
AHMAD HAERUDIN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah sangat luas. Bangsa
Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa yang mendiami berbagai daerah yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke sehingga sering disebut sebagai bangsa
yang multietnik. Berbagai suku bangsa itu tercermin pada keanekaragaman
budayanya yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Jika dilihat dari
banyaknya bahasa yang digunakan, bangsa Indonesia disebut juga bangsa yang
multilingual, sekalipun belum ada yang dapat memastikan dengan tepat jumlah
bahasa di negara kita. Namun, berdasarkan
informasi yang diperoleh dari data Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat
pada tanggal 4 September 2012, terdapat sekitar 743 macam bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 442 bahasa daerah sudah dipetakan oleh
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Bahasa yang sudah dipetakan sebanyak
26 bahasa di antaranya ada di Sumatera, 10 bahasa di Jawa dan Bali, 55 di
Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di Nusa Tenggara Barat, 49 bahasa
di Nusa Tenggara Timur, 51 bahasa di Maluku, dan 207 bahasa di Papua.[1]
|
Seminar “Politik Bahasa Nasional” yang diadakan di Jakarta pada tanggal 22 s.d.
27 Februari 1975 lalu menghasilkan beberapa simpulan yang salah satunya menyenbutkan
bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Berdasarkan
Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, kedudukan bahasa Indonesia sebagai
bahasa nasional berfungsi sebagai:
a)
lambang kebanggaan kebangsaan,
b)
lambang identitas nasional,
c)
alat yang memungkinkan penyatuan
berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya
masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan
d)
alat perhubungan antarbudaya dan antardaerah.
Sedangkan
kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berdasarkan Undang-Undang
Dasar 1945 Bab XV pasal 36, bahasa
Indonesia berfungsi sebagai:
a.
bahasa resmi kenegaraan,
b.
bahasa pengantar resmi di dalam dunia
pendidikan,
c.
alat perhubungan pada tingkat
nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional
serta kepentingan pemerintah, dan
d.
alat pengembangan kebudayaan, ilmu
pengetahuan, dan teknologi
(Halim,
1984:23).
Sebagai bangsa yang multietnik, sebagian warga negara
Indonesia pada umumnya paling sedikit menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa
daerah dan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Bahasa daerah biasanya
digunakan untuk keperluan komunikasi
antarwarga sesuku sedangkan dalam kegiatan komunikasi antarsuku bahasa
Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Selain itu, bahasa Indonesia
juga dipakai untuk keperluan penyampaian informasi dan ilmu pengetahuan di
lembaga-lembaga pendidikan formal, sedangkan bahasa daerah hampir tidak dipakai
kecuali di beberapa daerah yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar di sekolah dasar.
Salah satu dari 30 (tiga
puluh) jenis bahasa Melayu yang tersebar di seluruh pelosok
Indonesia adalah Bahasa Melayu Dialek Betawi. Muhadjir
(1984) dan Chaer (1984) menyebutnya dialek
Jakarta dan Ikranagara (1988) menyebutnya Bahasa Betawi. Dalam hal ini penulis akan menyebutnya dengan istilah Bahasa Melayu
Betawi.
Muhadjir (2000:1) menyebutkan bahwa dialek
Jakarta atau bahasa Melayu Betawi merupakan salah satu variasi bahasa Melayu
lokal yang berjumlah puluhan di Indonesia dan bahasa Melayu sendiri merupakan
salah satu anggota dari ratusan macam bahasa daerah yang terdapat di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas, disebutkan juga oleh Ikranagara dalam disertasinya
(1988) bahwa hubungan antara bahasa Betawi dengan Bahasa Indonesia pada
dasarnya adalah hubungan antara dua dialek dari satu bahasa yang sama dan
pemakaiannya secara bergantian digolongkan ke dalam situasi kebahasaan yang
disebut diglosik, yakni bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi,
sedangkan bahasa Betawi dalam situasi tidak resmi.
Bahasa Melayu Betawi mulai dipergunakan
sejak permulaan abad ke-19 oleh penduduk Jakarta yang dikenal dengan nama suku
Betawi sebagai bahasa pergaulan
sehari-hari. Muhadjir (1984:1) kembali
menyebutkan bahwa bahasa Melayu Betawi yang dipakai masyarakat di wilayah Ibu
Kota Republik Indonesia merupakan “pulau bahasa” di kawasan bahasa Sunda yang
umumnya dipakai oleh masyarakat di daerah Jawa Barat dan Banten. Di
sebelah barat dan selatan Bahasa Betawi
berbatasan dengan bahasa Sunda, sedangkan daerah pantai di batas sebelah timur
berbatasan dengan bahasa Jawa dialek lokal. Secara geografis, luas pemakaian
bahasa ini melebihi daerah administratif DKI Jakarta. Di sebelah timur, Bahasa
Betawi dipakai hingga wilayah Kecamatan
Tambun, Kabupaten Bekasi; di sebelah selatan sampai Kecamatan Cisalak, Kota Depok;
dan di sebelah barat hingga Kecamatan
Ciledug, Kota Tangerang. Dalam hal ini, Muhadjir tidak menjelaskan batas
pemakaiannya di sebelah utara, apakah hanya sampai pantai Laut Jawa atau hingga
ke Kepulauan Seribu.
Perkembangan
pembangunan berbagai sektor di Jakarta yang semakin pesat mengakibatkan
beberapa wilayah di Kota Jakarta sudah mengalami kehilangan ciri-ciri budaya
yang khas termasuk pemakaian bahasa
Melayu Betawi. Hal
ini diakibatkan oleh banyaknya para kaum urban
dari daerah lain yang masing-masing membawa kebudayaan daerahnya, termasuk
bahasa. Namun masih banyak wilayah yang dihuni oleh penduduk asli Jakarta, di antaranya adalah wilayah sekitar Condet, Jakarta Timur dan Setu Babakan, Jakarta
Selatan. Wilayah lain di Jakarta yang masih banyak dihuni oleh
penduduk asli Jakarta ini adalah wilayah Pondok Gede, Marunda, Muara Angke,
Tanah Abang, Srengseng Sawah, Pasar Minggu, Meruya, Kebayoran Lama, dan
lain-lain (Taendiftia, 1996:11).
Untuk terus
menjaga kelestarian budaya Betawi, Pemerintah DKI Jakarta kemudian memusatkan Cagar Budaya Betawi atau
Perkampungan Budaya Betawi ke wilayah Srengseng Sawah, Jakarta Selatan,
tepatnya di daerah Setu Babakan
dan Setu Mangga
Bolong berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 92/2000 pada bulan
Agustus 2000.
Pada
penelitian ini penulis mengambil lokasi di beberapa SMP di Jakarta Selatan, di antaranya adalah SMP Negeri 98 dan SMP
Negeri 242. Lokasi sekolah-sekolah tersebut dekat dengan wilayah perkampungan
Betawi, Setu Babakan, dan para siswanya hampir sebagian besar merupakan
penduduk asli Jakarta yang menggunakan bahasa Melayu Betawi sebagai bahasa
pertamanya.
Sebagian besar penduduk asli Jakarta adalah dwibahasawan.
Dalam berkomunikasi, mereka dapat menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Melayu Betawi dan bahasa Indonesia. Penggunaan kedua bahasa
itu dapat terjadi setiap hari. Dalam penggunaan kedua bahasa tersebut, sebagian
masyarakat dapat memakainya sesuai dengan fungsi masing-masing bahasa itu dan
banyak pula yang tidak dapat menggunakan kedua bahasa itu sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Penutur Bahasa Betawi (dalam hal ini siswa SMP di Jakarta Selatan) dalam kegiatan
komunikasinya baik lisan maupun tulisan menggunakan bahasa Melayu Betawi
dan bahasa Indonesia. Ketika siswa menggunakan bahasa Indonesia, kemungkinan
struktur bahasa Indonesia itu diwarnai oleh struktur bahasa Melayu Betawi
amat besar dan sukar dihindarkan. Bahasa Melayu
Betawi sebagai bahasa ibu atau bahasa
pertama siswa sudah mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari kehidupan
berbahasa siswa. Oleh karena itu, kemungkinan besar siswa akan menerapkan
sistem yang ada dalam Bahasa Betawi ketika mengunakan bahasa Indonesia, padahal
sistem kedua bahasa tersebut terdapat perbedaan. Penggunaan sistem seperti itulah
yang akan mengakibatkan terjadinya kontak bahasa dan penyimpangan kaidah
berbahasa atau yang lebih dikenal dengan nama interferensi.
Interferensi dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh
siapa saja. Salah satunya adalah interferensi yang terjadi dalam dunia pendidikan
oleh para peserta didik atau
para pendidiknya, mengingat mereka adalah dwibahasawan bahkan multi-bahasawan.
Tidak mustahil apabila dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan
sering terbawa ujaran-ujaran, kosa kata, dan struktur gramatikal bahasa pertama
ke dalam bahasa keduanya.
Melihat keadaan tersebut, jelaslah
bahwa kedwibahasaan merupakan kenyataan dalam masyarakat Indonesia.
Kedwibahasaan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah
merupakan fenomena yang menggejala di setiap negara di dunia ini. Berdasarkan
hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan
interferensi, mengingat pemakaian Bahasa Betawi cukup luas dan frekuensi
pemakaiannya diperkirakan cukup tinggi. Pada penelitian ini penulis mencoba
meneliti salah satu aspek interferensi, yaitu bidang gramatikalnya berupa morfologi.
Sepengetahuan penulis, penelitian yang berhubungan dengan
tata bahasa, fungsi dan kedudukan, dan struktur bahasa Melayu Betawi
sudah dilakukan oleh para ahli bahasa, seperti: Kay
Ikranagara, Muhadjir, Abdul Chaer, dan
peneliti lainnya. Penelitian tentang interferensi bahasa pertama (bahasa ibu) terhadap bahasa kedua (bahasa Indonesia) seperti bahasa Melayu Betawi, Jawa, Sunda,
Bali, Bugis, dan bahasa daerah lainnya
juga pernah dilakukan oleh para peneliti lain. Hasil-hasil laporan penelitian
tersebut akan dipakai sebagai bahan penunjang atau acuan untuk menganalisis
data dalam upaya memerikan interferensi gramatikal
bahasa Melayu Betawi
dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis siswa.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan interferensi yang meliputi bidang
fonologi, gramatikal, dan leksikal,
penelitian ini akan dibatasi pada masalah interferensi yang terjadi pada tataran morfologi saja.
Bahasa Indonesia tulis yang dimaksud penulis adalah bahasa Indonesia yang
digunakan siswa dalam karangan mereka.
Fokus penelitian ini dititikberatkan
pada struktur morfologi bahasa
Melayu Betawi yang
digunakan siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis dan interferensi
tersebut terbatas pada penggunaan bahasa Indonesia tulis oleh siswa yang
menggunakan Bahasa Betawi sebagai bahasa pertamanya.
2.
Perumusan Masalah
Siswa-siswi
SMP di Jakarta
Selatan hidup dalam lingkungan masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Mereka
umumnya menggunakan bahasa Melayu Betawi sebagai bahasa pertama atau
bahasa ibunya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Dalam penggunaan
bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan, kemungkinan terjadinya kontak
bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa
Melayu Betawi
sangat mudah terjadi. Hal ini tentu saja akan menimbulkan terjadinya
interferensi, yaitu penggunaan sistem Bahasa Betawi pada waktu menggunakan
bahasa Indonesia, sedangkan sistem kedua bahasa itu berbeda. Secara
lengkapnya penulis merumuskan
masalah dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1) Bagaimanakah
bentuk
interferensi morfologi bahasa Melayu Betawi yang terjadi dalam bahasa Indonesia tulis siswa SMP di Jakarta Selatan?
2) Faktor
apa saja yang melatarbelakangi timbulnya gejala interferensi tersebut?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi berupa deskripsi yang relatif
lengkap tentang adanya gejala interferensi bahasa Melayu Betawi
dalam pengunaan bahasa Indonesia tulis siswa yang berbahasa ibu bahasa Melayu Betawi. Informasi tersebut meliputi jenis-jenis gejala
interferensi dan hal-hal lainnya, baik yang berhubungan dengan linguistik
(struktur) maupun nonlinguistik (nonstruktur) yang menyebabkan terjadinya
gejala interferensi tersebut. Jelasnya, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui
1)
jenis-jenis interferensi morfologi bahasa Melayu Betawi dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis siswa SMP di Jakarta Selatan, dan
2)
faktor-faktor yang menjadi penyebab
timbulnya interferensi morfologi bahasa
Melayu Betawi
dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis siswa tersebut.
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri, bagi para guru, para siswa,
dan para peneliti lainnya dalam bidang pembinaan dan
pengembangan serta pengajaran
bahasa. Manfaat tersebut yaitu sebagai berikut.
1) Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan
masukan dalam rangka mengembangkan ilmu kebahasaan.
2) Bagi para guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam
menyusun materi dan metode pembelajaran. Selain itu juga dapat membantu
mengatasi kesalahan berbahasa siswa yang disebabkan oleh adanya interferensi.
3) Bagi para siswa,
hasil penelitian ini dapat meningkatkan penguasaan dan
keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, baik lisan maupun tulisan
4) Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi di bidang pembinaan dan pengembangan serta pengajaran
bahasa Indonesia dan bahasa daerah (bahasa
Melayu Betawi).
D. Anggapan Dasar
Penelitian ini didasarkan pada asumsi berikut.
1) Semua
siswa SMP di Jakarta
Selatan adalah dwibahasawan. Bahasa pertama mereka adalah bahasa Melayu Betawi
dan bahasa kedua mereka adalah bahasa Indonesia.
2) Interferensi
dapat terjadi pada dwibahasawan.
3) Interferensi
bahasa mencakup bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal.
E. Definisi Operasional
Beberapa
istilah penting yang dipakai dalam penelitian ini perlu penegasan dan
pembatasan. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan definisi operasional
penelitian ini sebagai berikut.
1) Interferensi
Morfologi
Interferensi diartikan sebagai perubahan sistem suatu bahasa
sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur
bahasa lain yang digunakan oleh penutur yang bilingual (Weinreich dalam Chaer,
2004:120).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:755)
disebutkan bahwa morfologi adalah “cabang linguistik tentang morfem dan kombinasinya”.
Jadi, yang dimaksud dengan interferensi morfologi
dalam penelitian ini adalah penggunaan sistem morfologi dari satu bahasa ke
dalam bahasa lain sedangkan sistem morfologi kedua bahasa itu berbeda, sehingga
menimbulkan penyimpangan kaidah berbahasa.
2) Bahasa
Melayu Betawi
Bahasa Melayu Betawi yaitu salah satu dialek dalam bahasa Melayu
yang digunakan sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu oleh
masyarakat Jakarta yang merupakan penduduk asli wilayah itu. Masyarakat asli
Jakarta tersebut dikenal dengan nama masyarakat Betawi (Taendiftia, 1996:9).
3) Bahasa
Indonesia Tulis
Yang dimaksud dengan bahasa Indonesia tulis pada penelitian
ini adalah bahasa Indonesia yang terdapat dalam karangan siswa.
F.
Sistematika
Penulisan
Penelitian ini diawali dengan bab pertama berupa pendahuluan yang berisi
latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, anggapan dasar, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
Bab kedua berisi landasan
teori yang membahas kedwibahasaan, interferensi, dan bahasa Melayu Betawi.
Bab ketiga berisi metodologi penelitian
yang menjelaskan tujuan penelitian, tempat dan waktu penelitian, metode
penelitian, fokus penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data dan
instrumen, teknik analisis data, dan pemeriksaan keabsahan data.
Bab keempat berisi hasil penelitian yang
menjelaskan deskripsi data, analisis data, temuan hasil penelitian, dan
keterbatasan penelitian.
Bab kelima berisi penutup yang terdiri
atas simpulan, implikasi, dan saran. Di akhir tesis ini penulis melengkapinya
dengan daftar pustaka dan lampiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar