Rabu, 08 Juni 2016

Wisata Bahasa







INTERFERENSI MORFOLOGIS BAHASA MELAYU BETAWI
TERHADAP BAHASA INDONESIA TULIS SISWA SMP
DI JAKARTA SELATAN




oleh
AHMAD HAERUDIN





BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki wilayah sangat luas. Bangsa Indonesia terdiri atas beberapa suku bangsa yang mendiami berbagai daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke sehingga sering disebut sebagai bangsa yang multietnik. Berbagai suku bangsa itu tercermin pada keanekaragaman budayanya yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional. Jika dilihat dari banyaknya bahasa yang digunakan, bangsa Indonesia disebut juga bangsa yang multilingual, sekalipun belum ada yang dapat memastikan dengan tepat jumlah bahasa di negara kita. Namun, berdasarkan informasi yang diperoleh dari data Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada tanggal 4 September 2012, terdapat sekitar 743 macam bahasa daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 442 bahasa daerah sudah dipetakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Bahasa yang sudah dipetakan sebanyak 26 bahasa di antaranya ada di Sumatera, 10 bahasa di Jawa dan Bali, 55 di Kalimantan, 58 bahasa di Sulawesi, 11 bahasa di Nusa Tenggara Barat, 49 bahasa di Nusa Tenggara Timur, 51 bahasa di Maluku, dan 207 bahasa di Papua.[1]
1
 
Salah satu bahasa daerah yang tersebar luas adalah bahasa Melayu. Bahasa Melayu terbagi atas sekitar 30 macam bahasa Melayu lokal[2]. Bahasa, baik bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia maupun bahasa daerah sebagai bagian dari budaya bangsa mendapat tempat tersendiri dalam khazanah budaya Indonesia.
Seminar “Politik Bahasa Nasional” yang diadakan di Jakarta pada tanggal 22 s.d. 27 Februari 1975 lalu menghasilkan beberapa simpulan yang salah satunya menyenbutkan bahwa bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Berdasarkan Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928, kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai:
a)      lambang kebanggaan kebangsaan,
b)      lambang identitas nasional,
c)      alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia, dan
d)     alat perhubungan  antarbudaya dan antardaerah.
Sedangkan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Bab XV pasal 36, bahasa  Indonesia berfungsi sebagai:
a.       bahasa resmi kenegaraan,
b.      bahasa pengantar resmi di dalam dunia pendidikan,
c.       alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional serta kepentingan pemerintah, dan
d.      alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi
(Halim, 1984:23).
Sebagai bangsa yang multietnik, sebagian warga negara Indonesia pada umumnya paling sedikit menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi. Bahasa daerah biasanya digunakan  untuk keperluan komunikasi antarwarga sesuku  sedangkan  dalam kegiatan komunikasi antarsuku bahasa Indonesia memegang peranan yang sangat penting. Selain itu, bahasa Indonesia juga dipakai untuk keperluan penyampaian informasi dan ilmu pengetahuan di lembaga-lembaga pendidikan formal, sedangkan bahasa daerah hampir tidak dipakai kecuali di beberapa daerah yang masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar.
Salah satu dari 30 (tiga puluh) jenis bahasa Melayu yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia adalah Bahasa Melayu Dialek Betawi. Muhadjir (1984) dan Chaer  (1984) menyebutnya dialek Jakarta dan Ikranagara (1988) menyebutnya Bahasa Betawi. Dalam hal ini penulis akan menyebutnya dengan istilah Bahasa Melayu Betawi.
 Muhadjir (2000:1) menyebutkan bahwa dialek Jakarta atau bahasa Melayu Betawi merupakan salah satu variasi bahasa Melayu lokal yang berjumlah puluhan di Indonesia dan bahasa Melayu sendiri merupakan salah satu anggota dari ratusan macam bahasa daerah yang terdapat di Indonesia. Berdasarkan hal di atas, disebutkan juga oleh Ikranagara dalam disertasinya (1988) bahwa hubungan antara bahasa Betawi dengan Bahasa Indonesia pada dasarnya adalah hubungan antara dua dialek dari satu bahasa yang sama dan pemakaiannya secara bergantian digolongkan ke dalam situasi kebahasaan yang disebut diglosik, yakni bahasa Indonesia digunakan dalam situasi resmi, sedangkan bahasa Betawi dalam situasi tidak resmi.
Bahasa Melayu Betawi mulai dipergunakan sejak permulaan abad ke-19 oleh penduduk Jakarta yang dikenal dengan nama suku Betawi  sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.  Muhadjir (1984:1) kembali menyebutkan bahwa bahasa Melayu Betawi yang dipakai masyarakat di wilayah Ibu Kota Republik Indonesia merupakan “pulau bahasa” di kawasan bahasa Sunda yang umumnya dipakai oleh masyarakat di daerah Jawa Barat dan Banten. Di sebelah barat dan selatan  Bahasa Betawi berbatasan dengan bahasa Sunda, sedangkan daerah pantai di batas sebelah timur berbatasan dengan bahasa Jawa dialek lokal. Secara geografis, luas pemakaian bahasa ini melebihi daerah administratif DKI Jakarta. Di sebelah timur, Bahasa Betawi dipakai hingga wilayah Kecamatan Tambun, Kabupaten Bekasi; di sebelah selatan sampai Kecamatan Cisalak, Kota Depok; dan di sebelah barat hingga Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang. Dalam hal ini, Muhadjir tidak menjelaskan batas pemakaiannya di sebelah utara, apakah hanya sampai pantai Laut Jawa atau hingga ke Kepulauan Seribu.
Perkembangan pembangunan berbagai sektor di Jakarta yang semakin pesat mengakibatkan beberapa wilayah di Kota Jakarta sudah mengalami kehilangan ciri-ciri budaya yang khas termasuk pemakaian bahasa Melayu Betawi. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya para kaum urban dari daerah lain yang masing-masing membawa kebudayaan daerahnya, termasuk bahasa. Namun masih banyak wilayah yang dihuni oleh penduduk asli Jakarta, di antaranya adalah wilayah sekitar Condet, Jakarta Timur dan Setu Babakan, Jakarta Selatan. Wilayah lain di Jakarta yang masih banyak dihuni oleh penduduk asli Jakarta ini adalah wilayah Pondok Gede, Marunda, Muara Angke, Tanah Abang, Srengseng Sawah, Pasar Minggu, Meruya, Kebayoran Lama, dan lain-lain (Taendiftia, 1996:11).
Untuk terus menjaga kelestarian budaya Betawi, Pemerintah DKI Jakarta kemudian memusatkan Cagar Budaya Betawi atau Perkampungan Budaya Betawi ke wilayah Srengseng Sawah, Jakarta Selatan, tepatnya di daerah Setu Babakan dan Setu Mangga Bolong berdasarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 92/2000 pada bulan Agustus 2000.
Pada penelitian ini penulis mengambil lokasi di beberapa SMP di Jakarta Selatan, di antaranya adalah SMP Negeri 98 dan SMP Negeri 242. Lokasi sekolah-sekolah tersebut dekat dengan wilayah perkampungan Betawi, Setu Babakan, dan para siswanya hampir sebagian besar merupakan penduduk asli Jakarta yang menggunakan bahasa Melayu Betawi sebagai bahasa pertamanya.
Sebagian besar penduduk asli Jakarta adalah dwibahasawan. Dalam berkomunikasi, mereka dapat menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Melayu Betawi dan bahasa Indonesia. Penggunaan kedua bahasa itu dapat terjadi setiap hari. Dalam penggunaan kedua bahasa tersebut, sebagian masyarakat dapat memakainya sesuai dengan fungsi masing-masing bahasa itu dan banyak pula yang tidak dapat menggunakan kedua bahasa itu sesuai dengan fungsinya masing-masing. Penutur Bahasa Betawi (dalam hal ini siswa SMP di Jakarta Selatan) dalam kegiatan komunikasinya baik lisan maupun tulisan menggunakan bahasa Melayu Betawi dan bahasa Indonesia. Ketika siswa menggunakan bahasa Indonesia, kemungkinan struktur bahasa Indonesia itu diwarnai oleh struktur bahasa Melayu Betawi amat besar dan sukar dihindarkan. Bahasa Melayu Betawi  sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama siswa sudah mendarah daging dan sudah menjadi bagian dari kehidupan berbahasa siswa. Oleh karena itu, kemungkinan besar siswa akan menerapkan sistem yang ada dalam Bahasa Betawi ketika mengunakan bahasa Indonesia, padahal sistem kedua bahasa tersebut terdapat perbedaan. Penggunaan sistem seperti itulah yang akan mengakibatkan terjadinya kontak bahasa dan penyimpangan kaidah berbahasa atau yang lebih dikenal dengan nama interferensi.
Interferensi dapat terjadi kapan saja, di mana saja, dan oleh siapa saja. Salah satunya adalah interferensi yang terjadi dalam dunia pendidikan oleh para peserta didik atau para pendidiknya, mengingat mereka adalah dwibahasawan bahkan multi-bahasawan. Tidak mustahil apabila dalam berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan sering terbawa ujaran-ujaran, kosa kata, dan struktur gramatikal bahasa pertama ke dalam bahasa keduanya.
            Melihat keadaan tersebut, jelaslah bahwa kedwibahasaan merupakan kenyataan dalam masyarakat Indonesia. Kedwibahasaan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah merupakan fenomena yang menggejala di setiap negara di dunia ini. Berdasarkan hal di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berkaitan dengan interferensi, mengingat pemakaian Bahasa Betawi cukup luas dan frekuensi pemakaiannya diperkirakan cukup tinggi. Pada penelitian ini penulis mencoba meneliti salah satu aspek interferensi, yaitu bidang gramatikalnya berupa morfologi.       
Sepengetahuan penulis, penelitian yang berhubungan dengan tata bahasa, fungsi dan kedudukan, dan struktur bahasa Melayu Betawi sudah dilakukan oleh para ahli bahasa, seperti: Kay Ikranagara, Muhadjir, Abdul Chaer, dan peneliti lainnya. Penelitian tentang interferensi bahasa pertama (bahasa ibu) terhadap bahasa kedua (bahasa Indonesia) seperti bahasa Melayu Betawi, Jawa, Sunda, Bali, Bugis, dan bahasa daerah lainnya juga pernah dilakukan oleh para peneliti lain. Hasil-hasil laporan penelitian tersebut akan dipakai sebagai bahan penunjang atau acuan untuk menganalisis data dalam upaya memerikan interferensi gramatikal bahasa Melayu Betawi dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis siswa.

B.     Pembatasan dan Perumusan Masalah

1.      Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan interferensi yang meliputi bidang fonologi,  gramatikal, dan leksikal, penelitian ini akan dibatasi pada masalah interferensi yang terjadi pada tataran morfologi saja. Bahasa Indonesia tulis yang dimaksud penulis adalah bahasa Indonesia yang digunakan siswa dalam karangan mereka.
            Fokus penelitian ini dititikberatkan pada struktur morfologi bahasa Melayu Betawi yang digunakan siswa dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis dan interferensi tersebut terbatas pada penggunaan bahasa Indonesia tulis oleh siswa yang menggunakan Bahasa Betawi sebagai bahasa pertamanya.
2.      Perumusan Masalah

Siswa-siswi SMP di Jakarta Selatan hidup dalam lingkungan masyarakat dwibahasa atau multibahasa. Mereka umumnya menggunakan bahasa Melayu Betawi sebagai bahasa pertama atau bahasa ibunya dan bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Dalam penggunaan bahasa Indonesia baik lisan maupun tulisan, kemungkinan terjadinya kontak bahasa antara bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu Betawi sangat mudah terjadi. Hal ini tentu saja akan menimbulkan terjadinya interferensi, yaitu penggunaan sistem Bahasa Betawi pada waktu menggunakan bahasa Indonesia, sedangkan sistem kedua bahasa itu berbeda. Secara lengkapnya   penulis   merumuskan   masalah  dalam  bentuk  pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut.
1)      Bagaimanakah bentuk interferensi morfologi bahasa Melayu Betawi yang terjadi dalam bahasa Indonesia tulis siswa SMP di Jakarta Selatan?
2)      Faktor apa saja yang melatarbelakangi timbulnya gejala interferensi tersebut?

C.    Tujuan dan Manfaat Penelitian        
1.      Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi berupa deskripsi yang relatif lengkap tentang adanya gejala interferensi bahasa Melayu Betawi dalam pengunaan bahasa Indonesia tulis siswa yang berbahasa ibu bahasa Melayu Betawi. Informasi tersebut meliputi jenis-jenis gejala interferensi dan hal-hal lainnya, baik yang berhubungan dengan linguistik (struktur) maupun nonlinguistik (nonstruktur) yang menyebabkan terjadinya gejala interferensi tersebut. Jelasnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
1)      jenis-jenis interferensi morfologi bahasa Melayu Betawi dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis siswa SMP di Jakarta Selatan, dan
2)      faktor-faktor yang menjadi penyebab timbulnya interferensi morfologi bahasa Melayu Betawi dalam penggunaan bahasa Indonesia tulis siswa tersebut.

2.      Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri, bagi para guru, para siswa,  dan  para  peneliti lainnya dalam bidang pembinaan  dan  pengembangan  serta pengajaran bahasa. Manfaat tersebut yaitu sebagai berikut.
1)      Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka mengembangkan ilmu kebahasaan.
2)      Bagi para guru, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun materi dan metode pembelajaran. Selain itu juga dapat membantu mengatasi kesalahan berbahasa siswa yang disebabkan oleh adanya interferensi.
3)      Bagi para siswa,  hasil penelitian ini dapat meningkatkan penguasaan dan keterampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, baik lisan maupun tulisan
4)      Bagi peneliti lain, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi di bidang pembinaan dan pengembangan serta pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa daerah (bahasa Melayu Betawi).

D.    Anggapan Dasar
Penelitian ini didasarkan pada asumsi berikut.
1)      Semua siswa SMP di Jakarta Selatan adalah dwibahasawan. Bahasa pertama mereka adalah bahasa Melayu Betawi dan bahasa kedua mereka adalah bahasa Indonesia.
2)      Interferensi dapat terjadi pada dwibahasawan.
3)      Interferensi bahasa mencakup bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal.

E.     Definisi Operasional
Beberapa istilah penting yang dipakai dalam penelitian ini perlu penegasan dan pembatasan. Oleh karena itu, penulis akan menjelaskan definisi operasional penelitian ini sebagai berikut.
1)      Interferensi Morfologi
Interferensi diartikan sebagai perubahan sistem suatu bahasa  sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang digunakan oleh penutur yang bilingual (Weinreich dalam Chaer, 2004:120).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:755) disebutkan bahwa morfologi adalah “cabang linguistik tentang morfem dan kombinasinya.
Jadi, yang dimaksud dengan interferensi morfologi dalam penelitian ini adalah penggunaan sistem morfologi dari satu bahasa ke dalam bahasa lain sedangkan sistem morfologi kedua bahasa itu berbeda, sehingga menimbulkan penyimpangan kaidah berbahasa.
2)      Bahasa Melayu Betawi
Bahasa Melayu Betawi yaitu  salah satu dialek dalam bahasa Melayu yang  digunakan sebagai  bahasa pertama atau bahasa ibu oleh masyarakat Jakarta yang merupakan penduduk asli wilayah itu. Masyarakat asli Jakarta tersebut dikenal dengan nama masyarakat Betawi (Taendiftia, 1996:9).

3)      Bahasa Indonesia Tulis
Yang dimaksud dengan bahasa Indonesia tulis pada penelitian ini adalah bahasa Indonesia yang terdapat dalam karangan siswa.

F.     Sistematika Penulisan
Penelitian ini diawali dengan bab pertama berupa pendahuluan yang berisi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, anggapan dasar, definisi operasional, dan sistematika penulisan.
            Bab kedua berisi landasan teori yang membahas kedwibahasaan, interferensi, dan bahasa Melayu Betawi.
Bab ketiga berisi metodologi penelitian yang menjelaskan tujuan penelitian, tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, fokus penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data dan instrumen, teknik analisis data, dan pemeriksaan keabsahan data.
Bab keempat berisi hasil penelitian yang menjelaskan deskripsi data, analisis data, temuan hasil penelitian, dan keterbatasan penelitian.
Bab kelima berisi penutup yang terdiri atas simpulan, implikasi, dan saran. Di akhir tesis ini penulis melengkapinya dengan daftar pustaka dan lampiran.


[1] Windu Ni, 10 Persen Bahasa Dunia Ada d Indonesia, (www.menkokesra.go.id. diakses 17-1-2013)
[2] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar